Oleh: Irawati Yasmin
Kring….kring….kring….kring.…kring….kring…
Ahh
menyebalkan, alarm ini benar-benar menggangguku. Ini tidak hanya menggangguku
tapi menekanku, sangat aku benci apapun tentang alarm.
Aku
benci alarm, karena bagiku alarm sebuah pertanda buruk. Kedua orang tuaku
tiba-tiba datang dengan ambulans saat mereka berencana pergi menjenguk nenekku
di baturaden. Mereka bukan sengaja menumpang ambulans tapi mereka kecelakaan
dan ambulans membawa mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi. Bukankah ambulans
memiliki alarm menyeramkan????
“Nga…….. kamu yang pasang alarm ya??”tanyaku
sedikit berteriak pada adikku
“apa kak?aku ga tau, sungguh!!”aku bunga
adikku
“trus siapa?? Ica?? dimana dia sekarang??
Sudah kabur duluan??” tanyaku lagi
“gatau kak, tadi di kamar kayanya” jawab bunga
Ya,
setelah kepergian orang tuaku setahun silam, kini aku tinggal dengan 2 adikku.
Bunga dan Risa (biasa ku panggil Ica) aku dan bunga beda 1 tahun, aku 19 dan
bunga 18. Sedangkan aku dengan ica terpaut 6 tahun. Jadi agak susah memahami
Ica karna perbedaan umur ini, dan dia memang tidak terlalu dekat denganku. Dia
juga mengalami trauma yang sama sepertiku. Bedanya, dia menyukai alarm dan selalu
menyalakan alarm yang ada dirumah sedangkan aku membenci dan selalu menghindari
alarm. Sebenarnya, mungkin Icalah yang paling menderita. Pasalnya, saat
kecelakaan itu dia ada bersama kedua orang tuaku. Menurutnya, alarm itulah
penyelamatnya, karena saat itu ambulans yang membawa dia dan orang tuaku
kembali kerumah. Keadaan keluargaku sekarang memang cukup menyedihkan, trauma
pada Ica membuatnya sedikit aneh kadang biasa kemudian dengan tanpa sebab pasti
menangis dan kadang juga tersenyum entah karena apa. Ica juga kambuh setiap
melihat orang bergandengan tangan atau berpelukan, mungkin itu juga yang
membuat kami begitu jauh. Aku tidak bisa menggandeng atau memeluknya ketika dia
ketakutan, menangis atau tertawa sekalipun. Karena itu aku hanya bisa
memarahinya agar dia berhenti menyakiti diri dan semua yang ada
disekelilingnya.
***
“kak
asa…… ica ilang lagii”
“ilang gimana nga?? Tadi bukannya sama kamu??”
“sebenernya tadi pas keluar, Ica dibelakangku
kak… ga lama pas aku nengok ke belakang, ica udah nggak ada.. hiks.. “
“ya udalah, ga mungkin juga ica tiba-tiba
muncul kalo kamu nangis doang disini. Ayo mending kita cari ica. Kak asa yakin
ica ngga bakal pergi terlalu jauh”
Aku
sebenarnya tidak terlalu khawatir ica hilang, ini sudah terlalu sering seperti
mandi dipagi dan sore hari, hilangnya ica itu seperti aktivitas tersebut.
Sebuah rutinitas yang selalu ada disetiap hari pagi dan sore. “ya udalah, ga
mungkin juga ica tiba-tiba muncul kalo kamu nangis doang disini. Ayo mending
kita cari ica. Kak asa yakin ica ngga bakal pergi terlalu jauh”. “Ayo
mending kita cari ica” kata ini merupakan kebohongan yang selalu aku katakan
setiap ica hilang, aku tidak pernah mencari ica. Sama sekali tidak pernah. Aku
tidak mencarinya bukan berarti aku tak peduli, tapi menurutku itu akan percuma
dan hanya akan membuat lelah saja. Padahal 10 jam dari hilangnya ica dia akan
kembali dan dia baik-baik saja. Jadi, bukankah lebih efektif untuk menunggu
saja dirumah??.
Pagi
menjadi siang dan kemudian menjadi malam. Malam juga akan kembali menjadi pagi
dan begitu seterusnya. Tadi pagi tepat pukul 7 AM ica hilang dan sekarang sudah
pukul 10 PM, artinya ica hilang sudah melebihi 10 jam. Aku benar-benar ngga
menyangka akan seperti ini jadinya, ica sudah 15 jam hilang dan aku malah sibuk
menonton drama korea favoritku dikamar tanpa mengkhawatirkan adik bungsuku yang
belum juga kembali kerumah sampai malam selarut ini.
“awas aja ca ntar kalo pulang”
Sudah
39 jam ica hilang, sekarang aku benar-benar khawatir. 39 jam dan ini bulan
juni, kata orang waktu dibulan juni lebih singkat daripada bulan lain dan
sepertinya memang benar begitu. Sekarang 29 juni, beruntung juni akan berakhir
dan semoga dengan berakhirnya juni juga ica akan kembali.
Juni
benar-benar sudah berakhir tapi ica belum kembali. Sekarang sudah 519 jam ica
hilang. Artinya sudah hampir 3 minggu ica hilang (sekarang 19 juli). Aku terus
menyalahkan diriku, jika saja pada hari dimana ica hilang aku mencarinya bukan
menunggunya mungkin ica tidak akan hilang sampai selama ini. Polisi tidak
membantu banyak, mereka hanya menyebarkan info mengenai ica di acara-acara
berita dan menempelkan pamflet di pusat-pusat keramaian.
Kring….kring….kring….kring.…kring….kring…
“ica……”
“ini bunga kak, ayo kita sahur kak”
“sahur??”
“iya kak, ini hari pertama puasa ramadhan”
“puasa?? ramadhan??”
“ya ampun kakak… iya, ayo cepetan bangun!!”
Hari
pertama puasa?? Sejujurnya ini juga merupakan salah satu trauma yang aku alami
setelah kecelakan orang tuaku “PUASA RAMADHAN”. Aku menyalahkan bulan ini untuk
kecelakaan orang tuaku dan mungkin juga untuk hilangnya ica. Jadi, ini bukan
bulan spesial untukku.
“kak, ada kabar dari kantor polisi ngga??”
“belum nga, kakak pasti nemuin ica. Tenang
aja!!”
“ma’afin nga ya kak, ini gara-gara nga
nggak bisa jagain ica”
“udahlah, ica juga udah gede. Dia pasti
baik-baik saja. Ica pasti kembali”
“tapi kak……….. ini udah lebih dari 10 jam,
lebih banyak banget dari biasanya”
Bunga
benar, ini lebih banyak banget dari biasanya. Kurasa ini lebih dari cukup untuk
menjadi alasan aku membenci bulan ini. Ibu, ayah, dan sekarang ica pergi. Ini
bukan bulan yang indah, seperti sebuah penyakit aku ingin menghindarinya, ingin
menyembuhkannya.
***
Hari
ke 24 dibulan ramadhan. Sudah kukatakan bahwa orang tuaku kecelakaan saat
mereka berencana menjenguk nenekku di Baturraden. Ini tanggal yang sama ketika
mereka pergi, tanggal 24 bulan ramadhan. Hari yang membuatku terjatuh hingga
tak bisa bangkit, hari yang membuatku tenggelam dalam lautan luka yang begitu
dalam, hari yang membuatku seperti tersesat sendiri tanpa tahu jalan kembali
untuk pulang.
“kak asa…… ada telpon dari kampus kakak,
katanya dari bagian kemahasiswaan”
“dari bagian kemahasiswaan? Apa katanya nga?”
“Cuma nyuruh kakak telpon balik atau nemuin
bagian kemahasiswaan secepatnya”
“oo… ya udah, kakak pergi dulu ya nga”
“iya.. hati-hati dijalan kak”
“iya….”
Ica
hilang sudah hampir 1 bulan, selama itu juga aku menghilang dari kampus. Ini
pertama kalinya setelah ica hilang aku kembali ke kampus. Rasanya menyejukkan
sekali disini, sangat nyaman.
“asa…”
“iya dev,, kenapa??”
“baru keliatan sa, kemana aja??”
“masa?? Ada kok.. btw ngga bareng risna??”
“iya, dia udah mudik dari zaman dulu kala. Aku
masih disini untuk surat-surat acara besok”
“oo… semangat dev,, oy, aku ke bapendik dulu
ya.. dahhh devi”
“iya.. kamu juga,, semangat ya!!”
“ok”
“tok..tok...tok… permisi pak..”
“iya, mba asa ya??”
“iya, pak”
“silahkan duduk dulu. Begini mba asa, mba tau
kan ini kampus. Mana bisa mba seenaknya tidak masuk selama 1 bulan tanpa izin
atau cuti”
“iya pak, saya tahu”
“mba asa tahu juga kan konskuensi dari itu”
“iya pak, saya tahu. Saya menerima konskuensi
tersebut”
“yasudah kalo seperti itu, ini surat DO mba
asa”
“iya pak terima kasih. Saya mohon pamit kalo
begitu”
Tanpa
menunggu selesai, aku bangkit dan keluar ruangan. Air mata ini hanya untuk ica,
tidak untukku. Jadi aku tidak boleh menangis untuk ini. Sekarang bertambah 1
lagi hal tidak menyenangkan di tanggal 24 di bulan ramadhan. Ingin cepat-cepat rasanya
meninggalkan hari ini.
***
Akhirnya
24 sudah berganti 25, aku tidak terlalu tertarik menunggu sampai berakhir 30.
Yang aku pikirkan apakah ica benar-benar tidak akan kembali? Bagaimana nanti
ketika aku bertemu ayah ibuku di syurga? Mereka pasti akan memarahiku. Tapi,
Apakah mungkin aku ke syurga?
Kring….kring….kring….kring.…kring….kring…
“nga...matiin dong alarmnya”
“ini ica kak,, ayo bangun… cepat sholat!!”
“ahh…mimpi lagi…”
“mimpi apa kak? Ayo sekarang waktunya!”
“ica???? Aaaaa…..sayang, ma’afin kakak ya…
kamu kemana aja? Kakak kangen..”
“iya…iya…. Tapi ica ngga bisa nafas ni kak”
“oo…iya ma’af-ma’af”
“yaudah, sekarang ayo mandi trus sholat ied
bareng”
“iya sayang,,, awas jangan pergi lagi!!!”
“siap”
Bukan
mimpi lagi, ica kembali tepat di hari akhir ramadhan. Berarti bulan ini memang
bulan yang indah, bulan penyembuhan semua lukaku dan luka ica. Terima kasih
atas limpahan nikmat-Mu kali ini ya Allah, Ica kembali tidak dengan ambulans
melainkan dengan jalan lain yang Engkau tentukan. Sampai saat ini aku masih
belum tahu kenapa ica pergi kemarin. Tapi, hikmah untuk itu semua, aku dan ica
kembali seperti dulu. Aku sudah bisa memeluk ica kembali, menggandeng tangannya
kembali dan memasang alarm kembali. Terima kasih ya allah karunia-Mu melalui
ica begitu indah. Aku, bunga, ica tanpa-Mu seperti butiran debu yang kapanpun
bisa dengan mudah tertiup angin dan jatuh di tempat berbeda dan kondisi yang
tidak sama. Terima kasih karena Engkau kembali menerbangkan butiran debu ini di
tempat yang sama dan kondisi yang baik.